BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dan jenisnya, besar dan kecilnya, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang digunakan. Kalangan ahli fiqh lebih sering menggunakan kata shidaq dalam kitab-kitab fiqhnya. Sebaliknya, di Indonesia terma yang paling sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin. Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara term as-shidaq dan al-mahr.
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan.
Pada zaman Jahiliyah, hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman Jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak waris da hak menerima wasiat.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dan jenisnya, besar dan kecilnya, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang digunakan. Kalangan ahli fiqh lebih sering menggunakan kata shidaq dalam kitab-kitab fiqhnya. Sebaliknya, di Indonesia terma yang paling sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin. Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara term as-shidaq dan al-mahr.
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan.
Pada zaman Jahiliyah, hak-hak perempuan dihilangkan dan disia-siakan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun dengan semena-mena menghabiskan hak-hak kekayaannya. Dalam syariat Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada zaman Jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya hak waris da hak menerima wasiat.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyajikan 3 pertanyaan rumusan masalah berikut:
a. Bagaimana kedudukan mahar dalam pernikahan?
b. Bagaimana kadar dan macam-macam mahar?
c. Mahar yang tidak ditentukan waktu akad?
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyajikan 3 pertanyaan rumusan masalah berikut:
a. Bagaimana kedudukan mahar dalam pernikahan?
b. Bagaimana kadar dan macam-macam mahar?
c. Mahar yang tidak ditentukan waktu akad?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun penulisan yang penulis lakukan memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan mahar dalam pernikahan.
b. Untuk mengetahuikadar dan macam-macam mahar.
c. Untuk mengetahui mahar yang tidak ditentukan waktu akad.
Adapun penulisan yang penulis lakukan memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan mahar dalam pernikahan.
b. Untuk mengetahuikadar dan macam-macam mahar.
c. Untuk mengetahui mahar yang tidak ditentukan waktu akad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Mahar dalam Pernikahan
Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melaksanakan akad nikah berpedoman pada dua pertimbangan hukum, yakni hukum perkawinan Islam yang dijelaskan melalui fiqh munakahat dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kedudukan mahar menjadi syarat sahnya perkawinan karena tidak ada hukum perkawinan dan undang-undang yang menyatakan bahwa perkawinan sah walaupun tanpa mahar. Kedua hukum yang berlaku menyatakan bahwa mahar harus ada secara mutlak dalam perkawinan.Keharusan adanya mahar dalam perkawinan disebabkan oleh dua hal.
Pertama: Adanya firman Allah SWT. dan hadis yang mewajibkan calon suami memberi mahar kepada calon istrinya, sebagaimana dalam surat An-Nisa ayat 4:
وَ١ٰتُو١١لنِّسَآءَصَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَۃًۗفَاِنْ
طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلوْﻩُهَنِٓيْٸًا
مَّرِيْٸًا٠(النساء:٤)
Artinya:“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian,
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senanghati.” (Q. S. An-Nisa:4)
Dengan demikian, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai kedudukan mahar dalam perkawinan, sebagaimana pengucapannya dalam ijab qabul perkawinan. Bertitik tolak dari dalil tersebut, KUA apabila memfasilitasi pernikahan salah satunya menanyakan kepada mempelai pria tentang mahar yang akan diberikan kepada calon mempelai perempuan. Kemudian, apabila telah diketahui jenis dan jumlah maharnya, pihak wali nikah akan mengucapkan dengan jelas dalam kalimat ijab, yang akan dijawab pula dengan jelas oleh pihak mempelai pria dengan jelas, yang disebut dengan qabul.
Kedua: Adanya hadis Rasulullah SAW. yang menyatakan bahwa laki-laki wajib memberi mahar kepada calon istrinya, jika perlu sebelum melakukan dukhul.
Dengan demikian, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai kedudukan mahar dalam perkawinan, sebagaimana pengucapannya dalam ijab qabul perkawinan. Bertitik tolak dari dalil tersebut, KUA apabila memfasilitasi pernikahan salah satunya menanyakan kepada mempelai pria tentang mahar yang akan diberikan kepada calon mempelai perempuan. Kemudian, apabila telah diketahui jenis dan jumlah maharnya, pihak wali nikah akan mengucapkan dengan jelas dalam kalimat ijab, yang akan dijawab pula dengan jelas oleh pihak mempelai pria dengan jelas, yang disebut dengan qabul.
Kedua: Adanya hadis Rasulullah SAW. yang menyatakan bahwa laki-laki wajib memberi mahar kepada calon istrinya, jika perlu sebelum melakukan dukhul.
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِﷲِ ٲَنَّ
رَسُوْلَ ﷲِص٠م٠قاَلَ لَوْأَنَّ رَﺟُﻼًأَعْطَى اِمْرَأَةً صَدَاقًامِلْ اَيَدَيْهِ
طَعاَماً كاَنَتْلَهُ حَلاَلاً٠
(رواه
احمدوأبوداود))
Artinya:“Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW. telah
bersabda, ‘Seandainya seorang laki-laki memberi makanan sepenuh dua tangannya
saja untuk maskawin seorang perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal
baginya.’”
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Ketiga: Pelaksanaan akad nikah melalui ijab qabul dengan pengucapan yang jelas diperintahkan oleh hukum perkawinan Islam dan KHI. Sebagaimana Sayyid Sabiq (1992:74) bahwa sighat yang dipergunakan dalam akad nikah harus jelas, diucapkan tidak terputus dan tidak dibenarkan terputus-putus. Oleh karena itu, apabila terdapat kekeliruan, pengucapannya harus diulang. Demikian pula, dalam KHI Pasal 27 dikatakan bahwa ijab dab qabul antara wali dengan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Kekeliruan penyebutan mahar sama dengan “tidak jelas” dalam mengucapkan ijab qabul yang akan merusak sighat akad nikah secara keseluruhan, sehingga wajib untuk diulang.
Dengan tiga alasan dan pertimbangan yuridis di atas, dalam perspektif fiqh munakahat, pelaksanaan akad nikah dalam konteks kedudukan mahar dalam perkawinan yang dilaksanakan di KUA adalah sebagai tindakan yang berhati-hati dalam melaksanakan hukum Islam dan undang-undang yang berlaku. Disebabkan perkawinan merupakan perjanjian yang sakral yang harus diakadkan secara sempurna dengan dan atas nama Allah SWT. dengan tidak memandang sepele terhadap kekeliruan yang terdapat dalam kalimat ijab dan qabul.
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Ketiga: Pelaksanaan akad nikah melalui ijab qabul dengan pengucapan yang jelas diperintahkan oleh hukum perkawinan Islam dan KHI. Sebagaimana Sayyid Sabiq (1992:74) bahwa sighat yang dipergunakan dalam akad nikah harus jelas, diucapkan tidak terputus dan tidak dibenarkan terputus-putus. Oleh karena itu, apabila terdapat kekeliruan, pengucapannya harus diulang. Demikian pula, dalam KHI Pasal 27 dikatakan bahwa ijab dab qabul antara wali dengan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Kekeliruan penyebutan mahar sama dengan “tidak jelas” dalam mengucapkan ijab qabul yang akan merusak sighat akad nikah secara keseluruhan, sehingga wajib untuk diulang.
Dengan tiga alasan dan pertimbangan yuridis di atas, dalam perspektif fiqh munakahat, pelaksanaan akad nikah dalam konteks kedudukan mahar dalam perkawinan yang dilaksanakan di KUA adalah sebagai tindakan yang berhati-hati dalam melaksanakan hukum Islam dan undang-undang yang berlaku. Disebabkan perkawinan merupakan perjanjian yang sakral yang harus diakadkan secara sempurna dengan dan atas nama Allah SWT. dengan tidak memandang sepele terhadap kekeliruan yang terdapat dalam kalimat ijab dan qabul.
B.
Kadar dan Macam-macam Mahar
1. Kadar Mahar
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Imam syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat menjadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
1. Kadar Mahar
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Imam syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat menjadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.
Imam
Abu hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
puluh dirham.
2.
Macam-macam Mahar
Mengenai kewajiban pembayaran mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu pemberian mahar biasa dilakukan pada waktu akad pernikahan. Mahar yang dimaksudkan terdiri dari beberapa macam :
a. Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu :
- Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami
kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnat.
Mengenai kewajiban pembayaran mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai wanita. Waktu pemberian mahar biasa dilakukan pada waktu akad pernikahan. Mahar yang dimaksudkan terdiri dari beberapa macam :
a. Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu :
- Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami
kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnat.
- Mahar musamma ghair mu’ajjal, yaitu mahar
yang pemberiannya ditangguhkan.Dalam kaitannya dengan pemberian mahar, wajib
hukumnya membayar mahar musamma apabila terjadi dukhul, apabila salah seorang
dari suami atau istri meningal dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama,
apabila telah terjadi khalwat (bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar (Kamal
Mukhtar, 1990:86).
Mahar tidak termasuk rukun dan syarat pernikahan. Hanya saja, menjadi kewajiban suami untuk membayarnya. Apabila salah seorang suami meninggal dunia, sementara dia belum membayar mahar kepada istrinya, pembayarannya diambil dari harta peninggalannya dan dibayarkan oleh ahli warisnya. Hal itu disebabkan mahar yang belum dibayar termasuk ke dalam utang-piutang. Apabila istrinya membebaskan utang mahar tersebut, tidak ada kewajiban ahli waris untuk membayarnya.
Suami yang menalak istrinya sebelum dukhul wajib membayar setengah dari mahar yang telah diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran suroh Al-Baqarah ayat 237:
Mahar tidak termasuk rukun dan syarat pernikahan. Hanya saja, menjadi kewajiban suami untuk membayarnya. Apabila salah seorang suami meninggal dunia, sementara dia belum membayar mahar kepada istrinya, pembayarannya diambil dari harta peninggalannya dan dibayarkan oleh ahli warisnya. Hal itu disebabkan mahar yang belum dibayar termasuk ke dalam utang-piutang. Apabila istrinya membebaskan utang mahar tersebut, tidak ada kewajiban ahli waris untuk membayarnya.
Suami yang menalak istrinya sebelum dukhul wajib membayar setengah dari mahar yang telah diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran suroh Al-Baqarah ayat 237:
وَاِنْ طَلَّقْتُموْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُوْهُنَّ
وَقَدْفَرَضْتُمْ لَهُنَّفَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلاَّۤ اَۤنْ يَعْفُوْنَ اَوْيَعْفُوَاالَّذيْ
بِيَدِهٖ عُقْدَةُالنِّكاَحِۗ وَاَنْ تَعْفُوْاۤاَقْرَبُ
لِلتَّقْوٰىۗ وَلاَتَنْسَوُاالْفَضْلَ بَيْنَكُمّْۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا
تَعْمَلوْنَ بَصِيْرُ٠
Artinya:“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu
sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah)
seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau
dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya.orang yang memegang
ikatan pembebasan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu lupa pada
kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.”
(Q.S. Al-Baqarah:237)
(Q.S. Al-Baqarah:237)
b. Mahar Mitsil
Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah, jumlah mahar itu belum ditetapkan bentuknya. Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 236, yang artinya:“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-Baqarah :236)
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami boleh memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa menentukan maharnya atau ia menentukan mahar mitsilnya. Sebagaimana pada ayat di atas dijelaskan secara rinci pada kalimat, “hendaklah kalian berikan suatu mut’ah menurut kemampuanmu.”
Adapun kemungkinan yang kedua dipandang akan memberatkan pihak bekas suami, sedangkan pihak istri dapat meminta mahar yang tinggi. Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mitsil dipandang lebih adil dan bijaksana, karena hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar serupa yang biasa diterima oleh pihak istri.
Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama membolehkan. Imam Malik menegaskan bahwa boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya, hendaknya ia telah membayar separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus tentu waktunya dan tidak terlalu lama ditunda-tunda. Oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak (Ibnu Rusyd,1990:394).
Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad nikah, jumlah mahar itu belum ditetapkan bentuknya. Allah SWT. berfirman dalam surat An-Nisa ayat 236, yang artinya:“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-Baqarah :236)
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas, seorang suami boleh memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia menceraikan istrinya tanpa menentukan maharnya atau ia menentukan mahar mitsilnya. Sebagaimana pada ayat di atas dijelaskan secara rinci pada kalimat, “hendaklah kalian berikan suatu mut’ah menurut kemampuanmu.”
Adapun kemungkinan yang kedua dipandang akan memberatkan pihak bekas suami, sedangkan pihak istri dapat meminta mahar yang tinggi. Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mitsil dipandang lebih adil dan bijaksana, karena hal itu didasarkan kepada kemampuan pihak suami dengan mengacu pada mahar serupa yang biasa diterima oleh pihak istri.
Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian fuqaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian ulama membolehkan. Imam Malik menegaskan bahwa boleh menunda pembayaran mahar, tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya, hendaknya ia telah membayar separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus tentu waktunya dan tidak terlalu lama ditunda-tunda. Oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati oleh kedua belah pihak (Ibnu Rusyd,1990:394).
Dianjurkan
untuk menunda pembayaran mahar dengan batas waktu yang jelas dan tidak sampai
tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau istrinya. Al-Auza’i
(1990:394) berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar dibolehkan meskipun
sampai kematian atau terjadinya perceraian. Penundaan pembayaran mahar tidak
terbatas sebagaimana dalam jual beli karena penundaan pembayaran mahar bersifat
badah. Yang penting, suami tetap wajib membayar.
C.
Mahar yang Tidak Ditentukan Waktu Akad
Para ulama ahli fiqh telah sepakat bahwa apabila akad nikah dilaksanakan tanpa menentukan mahar (nikah tafwidh), hukumnya boleh dan nikahnya tetap sah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236. Meskipun perkawinannya itu sah, suami belum boleh mencampuri istrinya karena ia belum memberikan mahar kepadanya.
Seorang suami tidak berdosa apabila menceraikan istrinya sebelum menyetubuhi dan belum pula menetapkan jumlah maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika terdapat syarat nikah tanpa mahar sama sekali, perkawinannya batal.
Demikian pula, menurut Ibnu Hazm. Sayyid Sabiq (1992:65) mengatakan bahwa setiap syarat di luar ketentuan Allah adalah batal.Salah satu adat kebiasaan tertua yang dilegalisasi oleh ajaran Islam adalah keharusan suami membayar mahar kepada istrinya, baik dibayar dengan cara kontan maupun tidak kontan. Hak istri atas harta mahar secara mutlak bukan hak suaminya. Oleh karena itu, suami menanggung beban tanggung jawab dengan memikul kewajiban untuk membayarnya. Cara-cara pelaksanaan pembayaran mahar adalah sebagai berikut:
- Mahar dibayar dengan cara kontan;
- Mahar dibayar dengan cara ditangguhkan sampai batas waktu yang disepakati;
- Mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas; danMahar dibayar dengan cara
pemberian uang muka, sisanya diangsur atau dibayarkan sekaligus sesuai perjanjian.
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi,karena itu, bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.
Para ulama ahli fiqh telah sepakat bahwa apabila akad nikah dilaksanakan tanpa menentukan mahar (nikah tafwidh), hukumnya boleh dan nikahnya tetap sah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236. Meskipun perkawinannya itu sah, suami belum boleh mencampuri istrinya karena ia belum memberikan mahar kepadanya.
Seorang suami tidak berdosa apabila menceraikan istrinya sebelum menyetubuhi dan belum pula menetapkan jumlah maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika terdapat syarat nikah tanpa mahar sama sekali, perkawinannya batal.
Demikian pula, menurut Ibnu Hazm. Sayyid Sabiq (1992:65) mengatakan bahwa setiap syarat di luar ketentuan Allah adalah batal.Salah satu adat kebiasaan tertua yang dilegalisasi oleh ajaran Islam adalah keharusan suami membayar mahar kepada istrinya, baik dibayar dengan cara kontan maupun tidak kontan. Hak istri atas harta mahar secara mutlak bukan hak suaminya. Oleh karena itu, suami menanggung beban tanggung jawab dengan memikul kewajiban untuk membayarnya. Cara-cara pelaksanaan pembayaran mahar adalah sebagai berikut:
- Mahar dibayar dengan cara kontan;
- Mahar dibayar dengan cara ditangguhkan sampai batas waktu yang disepakati;
- Mahar dibayar dengan cara dicicil sampai lunas; danMahar dibayar dengan cara
pemberian uang muka, sisanya diangsur atau dibayarkan sekaligus sesuai perjanjian.
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi,karena itu, bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.
َ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ”Carilah walau cincin dari besi”
Begitu sabda nabi Saw. Kalau ini pun tidak
dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhakan lagi, baru mas kawinnya
boleh berupa mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an. Rasulullah pernah bersabda
قَدْ أَنْكَحْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa
yang engkau miliki dari al-Qur’an.”
BAB III
KESIMPULAN
Para
ulama telah sepakat bahwa mahar itu wajib diberikan oleh suami kepada istrinya,
baik kontan maupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai denagn
perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan, tidak dibenarkan menguranginya.
Akan tetapi, jika suami menambahnya, itu lebih baik dan sebagai sedekah,
sedangkan yang dicatat sebagai mahar secara mutlak adalah mahar yang jenis dan
jumlahnya sesuai yang disebutkan pada waktu akad nikah.
Seorang suami tidak berdosa apabila menceraikan istrinya sebelum menyetubuhinya dan belum pula menetapkan jumlah maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika terdapat syarat nikah tanpa mahar sama sekali, perkawinannya batal.
Seorang suami tidak berdosa apabila menceraikan istrinya sebelum menyetubuhinya dan belum pula menetapkan jumlah maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika terdapat syarat nikah tanpa mahar sama sekali, perkawinannya batal.
DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Drs., 2008. Perkawinan
dalam Hukum Islam dan Undang-undang. Bandung:Pustaka Setia.
http://asysyariah.com
http://www.scribd.com/dnoc/90022774/Kedudukan-Mahar-Dalam-Pernikahan
http://www.makalahkuliah.com/2012/11/pengertian-hukum-dan-kadar-mahar.html
Diposkan oleh Tita Muspitawati di 06.46
EmoticonEmoticon